FGD Asal Usul Kampung Langenastran

Hari Sabtu, Tanggal 19 Maret 2022, jam 10.00 WIB, bertempat di Pendopo Mandira Loka Kelurahan Panembahan diadakan acara FGD Asal Usul Kampung Langenastran. Tamu yang diundang diantaranya Lurah Panembahan, Ketua LPMK Panembahan, Ketua RT RW di wilayah Kampung Langenastran, Pokdarwis Kelurahan Panembahan, Tokoh Masyarakat serta warga sekitar masyarakat Kelurahan Panembahan.

Kegiatan ini dibuka langsung oleh Lurah Panembahan RM. Murti Buntoro yang menyampaikan Kampung Langenastran adalah salah satu kampung prajurit yang berada dalam beteng kraton atau pasukan khusus yang bertugas mengawal Raja Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Kampung Langenastran juga ada filosofinya diantaranya; LANGENASTRO dan LANGENARJO.

Narasumber dalam acara FGD asal usul Kampung Langenastran ini adalah Bapak Sunu Raharjo (Ketua Kampung Langenastran) dan RH. Heru Wahyukismoyo. Materi pokok asal usul kampung Langenastran disampaikan oleh RH. Heru Wahyukismoyo. Beliau menyampaikan Kampung Langenastran, Langenarjan maupun kampung kampung lainnya dimasa   Lalu : Merupakan Paringan nDalem (Pemberian Sultan) untuk para Abdi Dalem Prajurit/Non Prajurit, Proses dari Hak Hanggadhuh Bumi menjadi Hak Handarbe Bumi lalu diproses menjadi Hak Milik sesuai UUPA (Kecuali Tanah Keprabon seperti Kraton, Alun alun, nDalem Kepengeranan, Ambarukmo, Ambar Binangun, Ambar Ketawang, Pemandian Umbulharjo, Goa Siluman, dll) serta tanah Sultan Ground, Magersari (siti kagungan nDalem), Menurut Sejarah Asal Usul Kampung Langenarjan & Langenastran, Bapak Bambang Yudoyono, Publisher, Yogyakarta, 2017 : “Penamaan Kampung berdasarkan pengaturan penempatan pemukiman para abdi dalem kraton berdasarkan tata pemerintahan Nayaka Wolu/Delapan Pejabat (Bumijo, Gedhong Kiwo, Gedhong Tengen, Keparak Kiwa, Keparak Tengen, Numbak Anyar, Penumping, Siti Sewu)”, Pemukiman para abdi dalem berdasarkan jabatan seperti Mantrigawen, Suranata, Ngampilan, Pajeksan, Mertolulutan, Kumetiran, Gandhekan, Ketandhan, Gebayanan, Maosan, Mijen, Minggiran, Pemukiman para abdi dalem berdasarkan keahlian seperti Musikanan, nGrambutan, Kenekan, Bludiran, Kemitbumen, Gebulen, Sekulanggen, Pesindenan (ada yang hilang yaitu kampung keparak), Gamelan, Namb uran, Patehan, Ratawijayan, nDagen, Jlagran, Gerjen, Gemblakan, Gendhingan.

Sebelum diadakan reorganisasi Sistem Pemerintahan (reorganisasi Pangreh Praja) pada 1926, Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi 5 kabupaten dan 1 kota. Setiap kabupaten dibagi menjadi beberapa Kepanjen (distrik) yang masing-masing dikepalai Panji Distrik. Setiap kepanjen terdiri beberapa Daerah Asistenan (Onderdistrik) yang masing-masing dikepalai Asisten Panji.

Setiap Asistenan terdiri beberapa desa. Ada pun kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa Daerah Asistenan yang selanjutnya terbagi-bagi lagi dalam beberapa kampung. Setelah reorganisasi Pangreh Praja pada 1926, Kota Yogya merupakan Daerah Asistenan yang terdiri beberapa Kemantren.

Sistem pemerintahan asli Kasultanan Yogyakarta tetap berlanjut pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945). Menghadapi intervensi kolonialisme Jepang, Kasultanan Yogya melakukan reorganisasi. Sistem Pemerintahan (reorganisasi Pangreh Praja) pada April 1945. Dalam reorganisasi itu, Kawedanan (distrik) dihapus. Setiap kabupaten langsung dibagi menjadi beberapa Asistenan dan dinamakan Kapanewon yang dipimpin oleh Panewu Pangreh Praja. Kawedanan dan Asistenan yang berada di dalam kabupaten Kota Yogya dihapus. Kabupaten kota dibagi menjadi beberapa Kemantren yang masingmasing dipimpin oleh Mantri Pangreh Praja. Setiap Kemantren dibagi menjadi beberapa Rukun Kampung (Aza Shokai) dan setiap Rukun Kampung itu terdiri atas beberapa Rukun Tetangga (Tonari Kumi).